Dulu, ketika aku masih anak-anak, hingga aku beranjak remaja, ayah adalah sosok yang sangat kukagumi, sekaligus menakutkan. Setiap saat bertemu dengan ayah, hanya 2 hal yang menjadi topik perbincangan kami, kewajiban untuk meraih prestasi tertinggi di sekolah dan kewajiban sebagai seorang kakak yang harus menjadi panutan adik-adiknya.
Saat aku di bangku SD, “Yah, aku ingin pergi bermain.” “OK, kerjakan ini dulu.” Jawab ayah sembari menyodorkan beberapa soal matematika. Jika aku kebetulan benar semua, itu keberuntungan, karena jam bermain menjadi sedikit lebih panjang. Namun jika ada kesalahan, ada tambahan soal yang harus kukerjakan. Saat itu aku merasa, bahkan untuk keluar dari rumahku sendiri, aku seperti menjalani pemeriksaan ketat ala militer.
Saat aku di bangku SMP, “Yah, aku ingin pergi dengan teman-temanku.” “OK, tunggu sebentar.” Jawab ayah sembari memegang gagang telepon. Ayah menelepon sahabatnya, sopir pribadi kami sejak aku kecil, meminta beliau “menemaniku”. Arti menemani disini adalah mengawasi dan menjagaku, agar jangan sampai ada apa-apa denganku. Saat iku aku merasa, aku lelah dengan semua pengawasan ketat ayah. Aku bukan sedang menjalani wajib militer yang penuh dengan aturan kedisiplinan. Aku sedang ingin bermain dengan teman-temanku.
Saat aku di bangku SMA, “Yah, besok ada undangan untuk wali murid, ada pembagian rapor.” Esoknya setelah melihat raporku, “Kamu ini terlalu banyak main. Harusnya kan bisa mendapat nilai yang lebih tinggi, kok bisa sampai kalah dengan si A, si B… bla bla bla…” Saat itu aku ingin berteriak dan mengumpat, namun tertahan dalam hati. Pikirku, tentu saja aku ingin pergi bermain, di kos sangat menyiksa. Setiap hari melihat pemilik kos bertengkar dengan suaminya, saling memaki dan memukul. Aku lelah dengan semua ini, dan ayah sedikitpun tidak mengerti.
Saat aku di bangku kuliah, “Yah, mungkin kali ini nilaiku tidak sebagus semester kemarin.” Ayah langsung memulai “kelas”nya, “Kamu ini harus bisa menjadi contoh yang baik untuk adik-adikmu. Kalau kakaknya tidak bisa dibanggakan, bagaimana adiknya bisa menaruh hormat.” Sudahlah, yang terpenting aku sudah berusaha semampuku. Aku menanamkan dalam pikiranku, ayahku memang demikian, ambisius tanpa batas, seberapapun aku berusaha dia tak akan mengerti. Aku lelah.
Saat aku melanjutkan sekolah ke luar negeri dengan beasiswa penuh. Ayah masih berusaha menanamkan idealismenya, mengenai sekolah setinggi langit, dan menjadi kakak teladan bagi adik-adikku. Pemikiran dan ambisinya menjadi beban yang sangat berat untukku.
Sampai akhirnya pendidikan yang sedang kutempuh ini mengalami hambatan, saat aku merasa putus asa dan yakin bahwa tidak mungkin lagi aku melanjutkan sekolah ini. “Yah, aku mungkin benar-benar bisa membuatmu kecewa. Aku gagal, kemungkinan besar aku tidak akan lulus, atau seandainya bisa lulus pun, nilaiku akan sangat buruk.” Kupikir saat itu, ayah akan marah besar dan memulai “kuliah”nya seperti biasa. Namun ternyata tidak, jawaban ayahku benar - benar membuatku tak percaya pada pendengaranku sendiri.
“Kalau kamu mau pulang, pulanglah, ayah sangat mencintaimu, ayah tidak mau kamu sakit. Jadikan sekolahmu ini suatu refreshing. Kalau bisa lulus, itu anugerah, kalau tidak, pergilah jalan - jalan sepuasmu. Mumpung kamu masih disana. Nanti kalau sudah puas main, baru kita pikirkan kamu mau cari kerja, atau bantu ayah di rumah. Pikirkan baik-baik apa maumu.”
“Ayah yakin? Tidak marah? Bukankah aku telah gagal menjadi kakak yang baik dan anak yang bisa dibanggakan seperti yang ayah inginkan?”
“Tidak, kamu tidak gagal. Kamu kebanggaan ayah. Kamu telah melakukan yang terbaik, dan itu membuat ayah sangat bangga. Adik - adikmu dan ibumu, keluarga kita, semua bangga padamu. Jangan merasa putus asa. Cukup lakukan yang terbaik, jangan memaksakan diri.”
Tiba - tiba aku teringat semua kenanganku dengan ayah. Semua rasa jengkel yang selalu membebaniku mendadak sirna. Aku menemukan harta karun yang tak ternilai harganya, senyum bangga, penuh cinta dari kedua orang tuaku. Dengan sangat jelas kulihat, senyum kepuasan, senyum penuh makna yang tak akan pernah kulupakan. Dukungan penuh tanpa batas yang menguatkan dan mengembalikan semangatku yang tadinya telah redup. Aku tidak akan kalah, aku akan berusaha lagi, dan senyum itu pasti akan kulihat lagi.
Semakin kupikir, aku semakin bisa mengerti mengapa dulu ayah selalu menekanku. Ayah hanya ingin aku menjadi yang terbaik, melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan, bukan demi ayah, bukan demi siapapun. melainkan demi diriku sendiri.
Aku teringat, saat aku pertama kalinya pulang kampung halaman setelah 1 tahun diperantauan, aku bertanya pada ayah, apa ayah bangga pada anak - anaknya? “Sejak pertamakali melihat kalian, ayah tahu kalian adalah kebanggaan ayah, yang jauh lebih berharga dari apapun.”
Ternyata, merantau benar - benar membuat mataku terbuka. Berkah yang Tuhan berikan padaku sungguh luar biasa. Ayah, Ibu, adik, dan semua keluargaku, adalah anugerah tak ternilai dari-Nya. Jangan khawatir ayah, tunggu aku pulang, akan kupersembahkan kemenanganku disini, hanya untukmu.
Aku cinta ayah. ........Terima kasih atas segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar