Belum lama ini saya menemukan sebuah fakta menarik di sekolah kehidupan Indonesia. Faktanya mengatakan bahwa orang-orang yang paling kaya di negeri ini ternyata bukanlah mereka yang suka berbicara tentang cara-cara cepat menjadi kaya. Dan mereka yang sering beriklan di media massa menawarkan gagasangagasan brilian untuk menjadi kaya, ternyata tidak satu pun yang termasuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia.
Fakta ini diumumkan oleh Executive Chairman of Globe Asia Rizal Ramli, dan sebagian dilaporkan oleh Harian Kompas, 31 Juli 2007, halaman 17. Isinya tentang 150 orang terkaya di Indonesia, dan kekayaan pejabat publik, pengusaha yang jadi pejabat publik, di luar daftar 150 orang terkaya.
Dalam daftar pengusaha yang jadi pejabat publik, dua nama teratas adalah Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, dengan kekayaan 16,6 juta dollar AS, disusul Fahmi Idris, Menteri Perindustrian saat ini. Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki kekayaan 516.000 dollar AS atau Rp 4,6 miliar per tahun 2004. Salinan daftar yang dimuat Kompas adalah sebagai berikut:
Memikirkan nama-nama orang terkaya yang muncul dalam daftar di atas, dikaitkan dengan maraknya seminarseminar tentang ilmu menjadi kaya di Indonesia satu dekade terakhir, saya mencoba menarik sejumlah pelajaran untuk diri sendiri.
Pertama, jalur menuju daftar orang terkaya agaknya memang dunia usaha, dunia bisnis, dunia perdagangan INFO APLI Edisi XXXVII/Juli-September 2007 15 dalam arti luas. Para pejabat publik yang kaya raya pun kita temukan adalah mereka yang datang dari dunia usaha, bukan pegawai negeri yang merintis karier dari bawah, bukan pula kaum profesional dengan keahlian spesifik di bidang tertentu di luar dunia usaha. Dengan demikian, jika menjadi kaya adalah tujuan yang dianggap paling bermakna dalam hidup, maka pilihan untuk berkiprah dalam dunia usaha adalah pilihan yang masuk akal.
Kedua, orang-orang yang mengajarkan tentang ilmu menjadi kaya, ternyata tidak datang dari kelompok yang paling kaya. Mereka datang dari kelompok yang sedang berusaha menjadi lebih kaya, dari kelas menengah yang memiliki ambisi luar biasa. Mungkin ini juga bisa diartikan bahwa orang tidak bisa menjadi sungguhsungguh kaya dengan mengandalkan keterampilan berbicara saja. “Bisnis bicara” tidak membuat orang menjadi yang terkaya di negaranya. Bahkan “bisnis bicara” oleh sebagian kalangan tidak dianggap bisnis dalam arti sesungguhnya. Hanya jika “bisnis bicara” dilengkapi dan dilanjutkan dengan kegiatan usaha dalam skala industri atau konglomerasi tertentu (tembakau, consumer goods, properti, pertanian, pertambangan, media, dsb), maka posisi terkaya dimungkinkan untuk diraih.
Ketiga, kelompok masyarakat yang masuk dalam daftar orang terkaya tidak suka berbicara tentang caracara cepat menjadi kaya. Sebagian malah kita dapatkan sebagai orang-orang yang tidak fasih berbicara, atau setidaknya suka menghindari kesempatan untuk berbicaradi muka umum. Dalam arti tertentu mereka mungkin memang menganggap kemampuan berbicara tidakrelevan dengan ambisi mereka untuk berhasil dalam usaha yang ditekuninya. Bahkan ada yang menduga orang-orang kaya tak banyak berbicara untuk publisitas karena publisitas sering membuat mereka mendapatkan masalah. Karena itu, mereka lebih suka membayar pihak tertentu, kaum profesional, untuk berbicara untuk dan atas nama mereka.
Keempat, soal pencitraan dalam masyarakat. Sungguh menarik bahwa mereka yang masuk dalam daftar orang terkaya itu bukanlah orang-orang yang dicitrakan kaya raya oleh media massa. Sebagian malah berusaha untuk tidak dikenal sebagai orang kaya raya, dengan alasannya masing-masing. Sementara orang-orang tertentu yang rajin berbicara soal ilmu menjadi kaya, justru terkesan berupaya keras mencitrakan diri mereka sebagai orang yang sungguh-sungguh kaya dalam pandangan masyarakat. Yang terakhir ini memanfaatkan publisitas media massa untuk membangun citra tersebut. Dan dengan citra semacam itulah mereka menarik keuntungan untuk memperkaya dirinya.
Empat pelajaran di atas membuat saya teringat pada pemikiran Stephen Covey mengenai character ethics dan personality ethics. Menurut Covey, sejak Amerika menyatakan kemerdekaannya di tahun 1776, ajaran-ajaran yang berkembang dalam masyarakat utamanya bertumpu pada pentingnya pengembangan karakter (kerja keras, antusias, tulus, rendah hati, tekun, dsb) untuk meraih sukses. Hal ini berjalan sampai 150 tahun. Lalu, di pertengahan tahun 1920-an, dan hampir bersamaan dengan terjadinya masa depresi besar, berkembanglah ajaran-ajaran yang mengutamakan teknik-teknik human relations dan public relations, serta positive mental attitude. Pada masa itulah soalsoal pencitraan, yakni personality ethics, menjadi lebih didahulukan ketimbang karakter yang sesungguhnya.
Ajaran-ajaran mengenai ilmu menjadi kaya dalam waktu cepat tumbuh menjamur, menjadi semacam “hiburan” atau “candu” bagi masyarakat yang didera penderitaan karena kemiskinan dimana-mana.
Saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah Indonesia sedang berada pada era seperti Amerika tahun 1920-an itu? Bagaimana pendapat Anda?